Obral Label Justice Collaborator
Oleh Achmad Fauzi
Hakim Pengadilan Agama Kota Banjar, Jawa Barat
Artikel ini dimuat di Koran Tempo tanggal 7 Juni 2016
Kabar tentang korupsi berjamaah kini kembali menduduki papan atas pemberitaan. Hal ini menyusul kesaksian Damayanti Wisnu Putranti di persidangan terkait kasus penyuapan pemulusan proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang melibatkan sejumlah anggota DPR.
“Nyanyian” Damayanti tentu bukan nyanyian biasa karena telah membuat heboh penghuni Senayan. Ia mengatakan dari kasus suap tersebut setiap anggota DPR mendapat jatah Rp 50 miliar, Kapoksi mendapat Rp 100 miliar, sedangkan pimpinan belum tahu besaran fulus yang diperoleh. Jatah komisi untuk anggota DPR menurutnya seperti ban berjalan sehingga setiap anggota DPR pasti mendapatkannya. Jika demikian kondisinya, dugaan korupsi berjamaah anggota dewan membutuhkan kegigihan penegak hukum untuk membongkarnya. Saksi pelaku yang mau diajak kerjasama (justice collaborator) dan secara kalkulasi hukum memiliki peranan penting dan bisa menjamin mau berkontribusi dalam pemberatasan gurita korupsi di Senayan, hendaknya jangan ragu untuk ditetapkan sebagai justice collaborator. Sejak awal ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penyuapan tersebut Damayanti telah mengajukan diri sebagai justice collaborator. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban mendukung penetapan justice collaborator sepanjang pemohon memenuhi persyaratan.
Pemberian atribut justice collaborator dalam perkara korupsi belakangan ini memang menuai kritikan karena berstandar ganda. Di satu sisi, orang yang sejak awal mengakui perbuatannya dan mau bekerjasama dengan penegak hukum malah tidak ditetapkan sebagai justice collaborator. Tapi giliran ada tersangka yang menyangkal perbuatannya dan tidak mau membuka diri atas harta hasil korupsinya malah memperoleh keistimewaan hukum berupa justice collaborator. Fenomena obral label justice collaborator terjadi karena penegak hukum terlalu longgar menerapkan kriteria saksi pelaku yang mau diajak bekerjasama. Tidak ada standar penghitungan yang akurat seberapa besar kontribusi seseorang dalam mengungkap kasus korupsi.
Fenomena tersebut patut dicermati oleh penegak hukum dalam melaksanakan wewenangnya. Apalagi penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dalam penanganan perkara korupsi rentan terjadi lantaran persinggungannya dengan politik kekuasaan sangat kuat. Jika penegak hukum tidak berpijak di atas kekuatan independensinya bukan tidak mungkin penetapan label justice collaborator hanyalah siasat untuk meringankan seseorang dari jeratan hukum.
Dalam enam bulan terakhir saja tercatat terdapat enam orang yang ditetapkan sebagai justice collaborator oleh KPK terkait perkara korupsi. Mereka antara lain M. Yagari Baskara, Gatot Pujo Nugroho, Patrice Rio Capella, Evy Susanti, Nazaruddin dan Rinelda Bandaso. Publik pasti memiliki penilaian tersendiri seberapa besar efektivitas dan dampak signifikan yang ditimbulkan dari penetapan justice collaborator tersebut. Apakah keterangannya berhasil membongkar pelaku utama dan mengembalikan kerugian negara atau justru sebaliknya menguntungkan koruptor. Hal ini disebabkan karena tidak semua justice collaborator memberikan kesaksian secara total yang menguntungkan bagi penegakan hukum tindak pidana korupsi.
Memberikan label justice collaborator kepada seorang tersangka yang selama proses hukum tidak memiliki rekam jejak dan itikad baik untuk membuka labirin kejahatan korupsi tentu menjadi pertanyaan banyak orang. Wewenang penegak hukum yang idealnya digunakan untuk membuka kotak pandora kejahatan kerah putih, justru menjadi lorong gelap tawar menawar hukuman. Jika demikian, perdebatan hukum tentang justice collaborator sudah tak lagi steril dari permainan politik. Karena itu, ke depan KPK perlu lebih berhati-hati dan cermat dalam memberikan status justice collaborator. Meningkatkan militansi dan kerja keras mengumpulkan alat bukti serta meningkatkan kerjasama dengan PPATK jauh lebih diutamakan daripada sekonyong-konyong menetapkan justice collaborator tapi belum jelas kontribusinya bagi penegakan hukum.
Perketat kriteria
Selama ini beleid tentang justice collaborator belum diatur secara komprehensif. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 hanya mengatur secara umum syarat menjadi justice collaborator dan itupun untuk perkara tertentu seperti terorisme, narkotika, korupsi dan lainnya. Beberapa syarat itu di antaranya adalah yang bersangkutan punya keterlibatan minimum dalam sebuah tindak pidana tertentu alias bukan pelaku utama, mengakui kejahatan yang dilakukannya, serta memberikan keterangan sebagai saksi pelaku di dalam proses peradilan yang kualitas keterangannya mampu mengungkap pelaku lain yang memiliki peran lebih besar. Kompensasi yang diberikan kepada seorang justice collaborator adalah berupa pidana percobaan bersyarat secara khusus dan atau menjatuhkan pidana penjara paling ringan di antara terdakwa lainnya yang dinyatakan terbukti bersalah.
Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tidak mengatur secara spesifik tentang justice collaborator. Pasal 10 ayat (2) hanya menyatakan bahwa seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ternyata ia terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah. Tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.
Mengamati posisi strategis justice collaborator dalam membantu penegak hukum mengungkap pemain besar dalam jaringan korupsi serta mencermati fenomena obral status justice collaborator yang kian tidak produktif, maka pengaturan syarat dan kriteria secara spesifik sangat penting segera dilakukan. Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban dengan memberikan porsi pengaturan yang memadai terkait justice collaborator merupakan conditio sine qua non.
Indonesia memiliki Undang–Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Konvensi PBB Anti Korupsi yang bisa dijadikan spirit filosofis dalam merumuskan aturan terkait justice collaborator. Pasal 37 ayat (2) menyatakan bahwa setiap negara peserta wajib mempertimbangkan, memberikan kemungkinan dalam kasus-kasus tertentu mengurangi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang diterapkan dalam konvensi tersebut. Hal ini secara eksplisit mengafirmasi bahwa nilai-nilai moralitas hukum dari konvensi tersebut hendaknya dijadikan dasar dalam mengatur tentang justice collaborator. Sehingga ke depan justice collaborator diberikan kepada orang yang tepat dan tujuan pemberantasan korupsi dapat tercapai.