Mencari Hakim (Berwatak) Agung
Oleh Achmad Fauzi
Hakim Pratama Madya di Pengadilan Agama Kota Banjar, Jawa Barat
Artikel ini dimuat di Koran Suara Pembaruan tanggal 25 April 2017
Mahkamah Agung (MA) menjadi episentrum keadilan. Ibarat rumah, penghuni di dalamnya harus orang pilihan. Memiliki reputasi baik dan sifat luhur. Berwatak agung selaras nama lembaganya. Semua impian itu bisa diwujudkan jika sistem rekrutmen calon hakim agung berjalan transparan, partisipatif, dan akuntabel.
Sebagai wujud partisipasi, masyarakat perlu dirangsang agar aktif terlibat memberikan informasi penting terkait rekam jejak, kapasitas, dan integritas calon. Sebagai bentuk akuntabilitas dan transparansi, komponen penilaian yang digunakan KY hendaknya sesuai kebutuhan MA dan memiliki standar penilaian jelas. Hal ini untuk menghindari pemilihan calon hakim agung berdasarkan prinsip suka atau tidak suka.
Saat ini Komisi Yudisial (KY) sedang menyeleksi calon hakim agung. Sebanyak 82 pendaftar dinyatakan lolos seleksi administrasi. Formasi yang bakal diisi antara lain kamar perdata, pidana, agama, tata usaha negara, dan militer. Latarbelakang calon juga beragam, mulai dari hakim karir, hakim ad hoc, dosen, notaris, advokat, dan lain-lain.
Proses rekrutmen calon hakim agung menjadi momentum memperbaiki lembaga peradilan. Sebagai hulu dimulainya reformasi peradilan, sistem rekrutmen harus menghasilkan bibit unggul dan tidak cacat moral. Caranya, KY sebagai lembaga yang memiliki wewenang menyeleksi dan mengusulkan calon hakim agung hendaknya meretas kerjasama dengan banyak pihak.
Badan pengawasan MA, misalnya, sebagai yang memiliki database rekam jejak hakim karir dan ad hoc sangat strategis untuk diajak kerjasama supaya mengetahui dengan terang perjalanan karir dan profilnya. Begitu pula organisasi advokat, perguruan tinggi, maupun organisasi kenotariatan pasti memiliki catatan masing-masing perihal sepak terjang calon yang menjadi utusannya. Karena itu, KY jangan segan-segan menggali lebih dalam agar hakim agung yang terpilih kelak benar-benar memiliki reputasi baik dan berintegritas. Jabatan hakim agung adalah puncak tertinggi dari profesi hakim. Sehingga mekanisme rekrutmennya harus komprehensif dan melibatkan banyak kalangan.
Ada beberapa faktor yang hendaknya menjadi pertimbangan penilaian dalam proses rekrutmen. Pertama, terkait aspek integritas dan komitmen penegakan hukum. Moralitas menjadi penilaian utama karena hakim agung adalah sosok sentral lembaga peradilan yang menjadi kiblat dan teladan bagi hakim di seluruh Indonesia, baik dari segi keilmuan maupun akhlaknya.
Mustahil berbicara reformasi lembaga peradilan jika sejak awal pola rekrutmen meloloskan calon yang memiliki reputasi buruk. Bukankah sudah tak terhitung dengan jari jumlah hakim yang ditangkap KPK karena terlibat suap. Bukankah MA juga punya sejarah kelam karena salah seorang hakim agung Achmad Yamanie terbukti secara ilegal mengubah vonis putusan Peninjauan Kembali (PK) gembong narkoba Hangky Gunawan dari 15 tahun menjadi 12 tahun. Akibat perbuatannya yang tidak terpuji dan melanggar hukum, Yamanie dipecat secara tidak terhormat. Karena itu, saat yang tepat bagi KY untuk mengirim orang-orang hebat dan digdaya untuk melanjutkan pembaruan di MA.
Berkarakter
Dalam dunia pewayangan dikenal falsafah asta brata. Cermin karakter yang diadopsi dari delapan simbol alam. Mulai dari sifat api (tegas), angin (pembaru), bintang (kompas keadilan), awan (berwibawa). Di samping itu, watak bulan (penerang), matahari (disiplin), samudera (muara keadilan), dan bumi (sabar). Hakim agung yang dipilih idealnya memadukan semua watak itu. KY bisa memformulasikan secara lebih detail beberapa karakter tersebut dalam sebuah materi ujian, dikaitkan dengan isu-isu mutakhir, sehingga bisa mengukur komitmen penegakan hukum masing-masing calon.
Seperti halnya sifat api, misalnya, calon hakim agung yang dipilih hendaknya memiliki sikap yang tegas terhadap persoalan yang menjadi musuh bersama, seperti korupsi, narkotika, terorisme, pedofilia, dan isu hukum lainnya. KY bisa menggali dan mengukur sensitivitas calon hakim agung terhadap isu-isu penting tersebut. Calon yang tak punya komitmen dan nalar hukum yang baik dalam memerangi persoalan yang menjadi musuh bersama bangsa jangan dipilih. Sebab, ketegasan itulah nantinya yang bakal tercermin dalam putusan yang dijatuhkan.
Kedua, kesehatan fisik calon hakim agung juga jadi komponen penilaian yang sangat menentukan. Hal ini dibutuhkan karena kesehatan yang prima membantu proses penanganan perkara di MA yang notabene semakin meningkat. Berdasarkan data kepaniteraan MA, jumlah perkara yang masuk pada tahun 2016 sebanyak 14.564 perkara. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan tahun 2015 yang berjumlah 13.977 perkara. Saat ini jumlah hakim agung masih jauh dari ideal karena beban perkara yang ditangani di setiap kamar tidak sebanding dengan komposisi hakim agung. Apabila tidak didukung oleh kondisi kesehatan yang prima, otomatis proses penyelesaian perkara di tingkat kasasi dan peninjauan kembali bakal tersendat.
Komitmen DPR
Mencari hakim berwatak agung sejatinya bukan hanya tanggungjawab KY. DPR sebagai lembaga yang berwenang menyetujui atau menolak calon hakim agung usulan KY juga harus punya komitmen menghasilkan hakim agung yang berkualitas dan bermoral. Dalam banyak pengalaman, DPR tak jarang menolak usulan KY karena suatu alasan. Tentu penolakan tersebut perlu pertanggungjawaban memadai agar tidak menimbulkan syakwasangka. Sepanjang tidak menyangkut persoalan yang sifatnya fatal, DPR seyogiyanya menghormati dan percaya kerja keras KY yang dari sejak awal jemput bola demi menghasilkan calon yang unggul.
Persoalannya DPR acap tak bisa dilepaskan dari tarik-menarik kepentingan politik. Sehingga wewenang menyetujui atau menolak calon hakim agung kerap karena pertimbangan yang bersifat politis. Akibatnya calon hakim agung yang punya rekam jejak baik dan kompetensi memadai, tapi karena tak memiliki dukungan politik, harus gigit jari karena kandas menuju Medan Merdeka Utara. Problem inilah yang membuat animo masyarakat untuk mencalonkan hakim agung menurun.
Karena itu, kendati proses rekrutmen calon hakim agung melalui mekanisme politik, sedapat mungkin tidak dipolitisasi untuk kepentingan politik tertentu. Sebab mekanisme pemilihan yang kental nuansa politis pada akhirnya hanya menghasilkan boneka parpol. Hakim terbelenggu balas budi politik sehingga sikapnya dalam memutus perkara tak lagi independen. Kondisi demikian akan membuat lembaga yudikatif kehilangan kemerdekaannya dan tersandera kekuasaan legislatif.
Jika DPR benar-benar mewakili aspirasi rakyat, maka laksanakan wewenang menyetujui atau tidak meyetujui calon hakim agung semata-mata karena kebenaran. Bukan karena pesanan parpol. Hanya dengan demikian impian bersama membangun lembaga peradilan yang merdeka, yang diisi oleh hakim baik yang menjadi pioner pembaruan MA, bakal menjadi segumpal kenyataan.