Arsip Artikel

          Kebangkitan Perempuan di Ruang Publik

    Oleh Achmad Fauzi

Hakim Pengadilan Agama Kota Banjar,  Jawa Barat

Artikel ini dimjuat di Koran Media Indonesia tanggal 1 Mei 2017

Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) berlangsung cetar membahana. Acara yang dihelat di Pesantren Kebon Jambu, Ciwaringin, Cirebon, itu  menjadi penanda baru kebangkitan kaum hawa. Ribuan ulama perempuan, aktivis, akademisi dari lintas negara turut hadir. Tiga agenda besar diusung, antara lain meneguhkan peran ulama perempuan di kancah syiar Islam, membuka ruang ulama perempuan untuk kerja pemberdayaan dan keadilan sosial, serta membangun basis pengetahuan mengenai ulama perempuan dan kontribusinya untuk keadaban. 

Kehadiran ulama perempuan di ruang kekinian memiliki peran penting dalam membangun kesetaraan sekaligus meneguhkan eksistensi. Perempuan tak boleh lagi dianggap sebagai makhluk tak berdaya yang harus tunduk pada kultur patriarki. Sejarah membuktikan betapa ketidakhadiran suara perempuan dalam  perumusan fikih justru semakin memperkuat superioritas laki-laki atas perempuan. 

 Salah satu teks yang dipandang oleh ahli fikih sebagai dasar eksplisit ketinggian laki-laki satu tingkat di atas wanita  adalah Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 34, yang menyatakan bahwa laki-laki sebagai pemimpin atas wanita. Adapun kaidah fikih yang digunakan adalah kaidah mafhum aulawi, yang kemudian disimpulkan: “apabila urusan rumah tangga/domestik saja perempuan dipimpin laki-laki, apalagi persoalan publik yang mencakup wilayah dan tanggung jawab besar.”

Hirarki dan superioritas laki-laki atas perempuan tersebut akhirnya semakin dikukuhkan dalam soal-soal fikih yang lebih menguntungkan kaum laki-laki ketimbang wanita, seperti perkara kewarisan, persaksian, imamah, hingga persoalan yang bersifat pribadi, yakni penguasaan laki-laki atas reproduksi dan seksualitas perempuan.

Karena itu, diselenggarakannya Kongres Ulama Perempuan Indonesia sejatinya sebagai interupsi bagi kita semua bahwa perempuan memiliki kekuatan besar yang perlu diberikan ruang. Apalagi menyangkut pembahasan persoalan-persoalan keperempuanan masa kini seperti masih kuatnya dominasi kultur patriarki, kasus perkosaan, kepemimpinan, dan labelisasi perempuan hanya urusan privat.

Kasus Perkosaan

Kasus perkosaan dan kekerasan seksual, misalnya, hingga kini masih menggurita dan mengukuhkan praktik pemarginalan kaum perempuan dari gelanggang kesetaraan. Tipologi kekerasan seksual juga tak sekadar bersifat individu (hubungan orang tua terhadap anak). Ataupula tidak memiliki relasi intim antara pelaku dengan korban.  Berdasarkan data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan tercatat sejak 1998 hingga 2010 terdapat 295.836 kasus kekerasan terhadap perempuan. Sebanyak 91.311 di antaranya kasus kekerasan seksual. Peristiwa pelecehan seksual tersebut mencerminkan wanita masih dipandang makhluk lemah yang harus menuruti dorongan birahi laki-laki.

Banyak faktor yang menyebabkan perkosaan masih merebak. Pertama, lemahnya fungsi aparat hukum dalam menjalankan tugas profesi. Hal ini dipengaruhi cara pandang penegak hukum yang bias gender. Nasib perempuan sudah dianggap sebagai takdir yang secara kodrati dianggap di bawah kekuasaan laki-laki.  Padahal aparat hukum berperan besar dalam memberikan jaminan perlindungan kepada setiap warga tanpa membeda-bedakan jenis kelamin. Pasal 28 (g) UUD 1945 menyebutkan setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

Kedua, penafsiran terhadap nash yang tak mendudukkan laki-laki dan perempuan dalam posisi setara. Hal ini menyebabkan struktur, organisasi, dan paham keagamaan tak berlaku adil terhadap kaum perempuan sejak dalam pikiran.   Padahal agama  memiliki visi egalitarianisme. Karena itu, pertemuan ulama perempuan perdana di Cirebon menjadi penting agar posisi agama dan cara pandang ulama terhadap perempuan memiliki pengaruh besar dalam meruntuhkan kultur patriarki. Sehingga, dalam jangka panjang perempuan menjadi makhluk yang harus dihargai, yang kelak juga bisa memimpin dunia, sama seperti kaum laki-laki.  

Peran yang terbuka

Aminah Wadud (1994) memiliki pandangan menarik  dan lebih adil bahwa tidak setiap penghargaan dan dinamika di bidang politik , ekonomi, dan sosial selalu dikaitkan dengan laki-laki  dan tidak pula semua pekerjaan yang membosankan harus dibebankan kepada wanita. Sebab, fenomena wanita karir yang kini merebak bersamaan dengan pergeseran peran wanita, tidak selalu dikonotasikan sebagai wanita jelek manakala selalu berorientasi pada satu semangat, yakni semangat berpacu dalam kebaikan. Semua manusia punya kesempatan yang sama mengembangkan dirinya tanpa dibatasi oleh perbedaan kelamin.

Dalam perkembangan dunia yang semakin modern, perempuan telah menjadi sosok yang tak lagi terbatas pada urusan sumur, kasur dan dapur. Namun juga telah merangsek pada bidang-bidang penting dan strategis dalam bernegara. Di Indonesia keterlibatan kaum perempuan bisa dibilang cukup menggembirakan. Di lingkungan eksekutif, misalnya, keterwakilan perempuan dalam kabinet Joko Widodo  cukup memadai. Srikandi tersebut antara lain Retno Marsudi, Susi Pudjiastuti, Khofifah Indar Parawansa, Yohana Yambise, Siti Nurbaya,  Rini Soemarno, dan Puan Maharani.

Namun demikian, kondisi tersebut tidak terjadi di lembaga yudikatif. Berdasarkan data International Labour Organization jumlah hakim perempuan di Indonesia masih rendah. Di pengadilan negeri hakim perempuan hanya sekitar 16,2 persen. Sedangkan di Mahkamah Agung prosentasenya lebih kecil lagi yakni 15,6 persen. Hal ini disebabkan kultur patriarki di Indonesia masih sangat kuat. Semua jabatan penting dipersepsikan hanya cocok dipegang oleh kaum laki-laki. Padahal dari segi kemampuan, daya sensitivitas dan kualifikasi lainnya, perempuan tak kalah saing.

Di tingkat dunia perempuan juga punya catatan sejarah gemilang dalam dunia politik. Merujuk pada negara yang dipimpin wanita, di Brasil ada Dilma Roussef yang menggantikan Luiz Inacio Lula da Silva, Laura Chinchilla menjabat Presiden Kosta Rika, Cristina Fernandez de Kirchner sebagai pemimpin Argentina, serta Helle Thorning sebagai penguasa di Denmark. Keberhasilan perempuan mengubah stereotip manusia tidak berdaya tersebut tidak luput dari keberanian mendobrak kultur patriarki.

Akhirulkalam, saya sependapat dengan Rosemary Mahoney, penulis nonfiksi Amerika Serikat, dalam sebuah kolomnya: Serahkan kekuasaan kepada wanita, niscaya mengubah dunia.