Arsip Artikel

Hatta Ali dan Reformasi Lembaga Peradilan

Oleh  Achmad  Fauzi

Hakim Pratama Madya pada Pengadilan Agama Kota Banjar, Jawa Barat

Artikel ini dimuat di Koran Jawa Pos tanggal 15 Februari 2017

 

                Melalui mekanisme pemungutan suara Hatta Ali kembali terpilih sebagai Ketua Mahkamah Agung (MA). Dari 47 hakim agung yang menggunakan hak suara, Hatta Ali berhasil mengumpulkan 38 suara alias unggul telak atas tiga rivalnya  Andi Samsan Nganro, Suhadi, dan Mukti Arto. Di usianya yang menginjak 67 tahun Hatta Ali dipastikan hanya menjabat Ketua MA selama tiga tahun karena usia pensiun hakim agung 70 tahun.

Sebagai petahana, selama lima tahun menahkodai posisi tertinggi  di MA, telah banyak capaian dan prestasi gemilang yang ia toreh. Tunggakan perkara yang dahulu kerap jadi sorotan publik  kini progresnya mencapai puncak keemasan. Aturan tentang penyelesaian perkara tingkat kasasi dan PK diberlakukan dengan mematok batas penyelesaian maksimal tiga bulan setelah perkara diterima ketua majelis. Hal ini termaktub dalam Surat Edaran MA Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jangka Waktu Penyelesaian Perkara.

Selain itu Hatta Ali juga membatasi hakim agung melakukan kunjungan ke luar negeri dan  melarang hakim agung mengajar di perguruan tinggi pada jam kerja. Kebijakan tersebut bertujuan agar produktivitas penangaan perkara lebih maksimal. Alhasil pada tahun 2016 produktivitas MA mampu mengikis tumpukan perkara cukup signifikan. Jumlah perkara yang berhasil diputus MA selama tahun 2016 sebanyak 16.223 dengan asumsi sisa perkara tahu 2015 sebanyak 3.950 dan perkara diterima tahun 2016 sejumlah 14.630. Dengan demikian  sisa tunggakan perkara di MA sejumlah 2.357.

MA juga terus berjuang melawan ketertutupan dengan memaksimalkan piranti teknologi informasi. Ikhtiar tersebut merupakan langkah besar karena dalam budaya ketertutupan menyimpan banyak kebohongan dan berkorelasi dengan praktek dagang perkara. Dalam ketertutupan, meminjam istilah Jeremy Bentham, membuat hakim diadili saat mengadili. Maka dari itu MA membuat aktivasi yang muaranya untuk meningkatkan pelayanan publik dan memperketat pengawasan. Pencari keadilan dapat memantau langsung perkembangan perkaranya. Pimpinan MA juga bisa mengawasi tingkat kepatuhan  aparatur peradilan dan tempo penanganan perkara.

Kini, seiring terpilihnya kembali Hatta Ali, publik menaruh harapan besar agar capaian yang telah diraih tersebut terus ditingkatkan dan jadi momentum benahi lembaga peradilan. Sebab, di balik prestasi gemilang yang diraih, masih ada sejumlah persoalan yang berkaitan dengan defisit integritas. Noktah hitam berupa praktik suap yang melibatkan hakim dan aparat peradilan masih jadi batu sandungan reformasi peradilan. Modusnya bermacam-macam, mulai dari pemberian deposit suap, hingga ucapan terimakasih setelah perkara dimenangkan.

Sepanjang tahun 2016, misalnya, MA menjatuhi hukuman kepada hakim, pejabat struktural, fungsional, serta staf dengan rincian 38 orang dijatuhi sanksi berat, 19 orang sanksi sedang, dan 57 orang sanksi ringan. Dari 114 sanksi yang dijatuhkan sebanyak 52 di antaranya adalah hakim. Ini berarti kerja pengawasan harus ditingkatkan. Apalagi sekretaris MA baru saja dilantik dan secara organisatoris bertanggungjawab dalam pembinaan dan pelaksanaan pengawasan terhadap pelaksanaan  tugas di lingkungan peradilan. Itu artinya kerja pengawasan menjadi kunci utama pembaruan di MA yang patut diperhatikan.

Rombak Mekanisme

Di luar prosesi pemilihan yang berjalan lancar, masyarakat  menghendaki  suksesi Ketua MA ke depan berjalan lebih terbuka dan adaptif. Publik menilai momentum suksesi kali ini  kurang tepat karena kalah pamor dengan isu pilkada. Akibatnya masyarakat memiliki sedikit ruag untuk memantau rekam jejak calon. Padahal meskipun hak suara pemilih sepenuhnya di tangan hakim agung, namun suksesi pemilihan tidak boleh menutup suara atau masukan dari publik. Partisipasi masyarakat untuk memberikan masukan dan catatan soal figur calon tetap dibutuhkan. Sehingga sosok yang terpilih adalah orang yang tepat dan mampu melakukan reformasi lembaga peradilan.

Ke depan supaya suskesi Ketua MA lebih teruji pelibatan lembaga lain seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sangat penting. Harta kekayaan perlu diukur, ditelusuri, dan dianalisa apakah keberadaannya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.  Persoalan harta kekayaan yang tidak dilaporkan dalam LHKPN, misalnya, penting diusut supaya sosok yang terpilih bersih dari berbagai skandal korupsi. Apalagi pengadilan di mata masyarakat nyaris identik dengan mafia. Sehingga untuk menjamin terpilihnya Ketua MA harus terlebih dahulu bisa dipastikan calon  tersebut memiliki harta yang halal dan terekam dalam laporan harta kekayaan.

Pelibatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga tak kalah penting untuk memastikan rekam jejak, latarbelakang, dan integritas calon.  Sehingga Ketua MA terpilih adalah orang yang selama meniti karirnya bebas dari kasus hukum dan skandal suap. Impian ini ekuivelen dengan harapan masyarakat yang menghendaki  sosok yang terpilih steril dari terpaan isu tak sedap seperti permainan perkara. Menjadi pejabat pada lembaga negara salah satu syaratnya adalah bersih dari isu negatif dan persoalan apapun. Sehingga ketika menjabat tidak terbebani oleh masa lalu yang kelam dan tidak terpenjara dalam cengkeraman jaringan mafia. Pelibatan KPK di samping memastikan rekam jejak calon,  pada sisi lain juga berfungsi menghapus mekanisme pemilihan  pejabat atas prinsip suka atau tidak suka. Penetapan jabatan penting di bidang hukum harus tetap berpegang teguh pada netralitas, faktor integritas, dan pertimbangan perwujudan reformasi peradilan di masa mendatang.