Arsip Artikel

Pancasila dan Keindonesiaan Kita

Oleh Achmad Fauzi

Hakim Pratama Utama di Pengadilan Agama Kota Banjar, Jawa Barat

Artikel ini dimuat di Koran Suara Pembaruan tanggal 10 April 2017

                                                                                                         

Pancasila sedang menghadapi rongrongan. Sejumlah kelompok radikal terus berpacu mengubah Indonesia menjadi negara agama. Gerakan ini cukup merisaukan karena menjadikan politik sebagai tunggangan (Suara Pembaruan, 8/4). Kontestasi politik tak hanya menjadi gelanggang  untuk mendukung tokoh tertentu meraih tampuk kekuasaan. Tapi, jauh melampaui itu, mereka hendak menggantikan Pancasila dengan ideologi lain. Padahal, Pancasila  telah melewati eksperimentasi sejarah yang cukup panjang dan teruji membawa masyarakat Indonesia dari bayang-bayang eksklusivisme dan sektarianisme.

Sejatinya dinamika hubungan agama, Pancasila, dan negara dalam perjalanan sejarah berlangsung pasang surut.  Jika pada zaman Orde Baru agama dijadikan alat  legitimasi negara, maka di era kekinian berlaku sebaliknya. Negara justru menjadi gelanggang yang diperebutkan oleh semesta politik, ideologi maupun agama. Sebagian kelompok mulai gamang melihat Pancasila sebagai dasar maupun ideologi, meskipun secara filosofis substansi yang terkandung dalam sila Pancasila mampu mewadahi berbagai kepentingan agama, budaya dan semesta politik yang ada.

Fakta ini berkontribusi besar bagi terciptanya politik formalis yang berpusat pada negara. Setiap kekuatan politik-ideologis maupun agama melihat agenda merebut negara dan menentukan staatside negara sebagai sesuatu yang absolut ketimbang memperjuangkan nilai ajarannya secara kultural. Padahal, kontribusi agama tak melulu soal politik dalam lingkup ketatanegaraan, namun politik keseharian yang di antaranya mengupayakan pemberantasan kemiskinan, krisis moral, pembelaan kaum proletar sebagai kelompok yang tidak diuntungkan dalam struktur sosial.

Sejatinya konsepsi memperjuangkan agama sebagai ideologi negara bukan barang baru karena pernah mencuat dalam situasi politik sidang konstituante pada tahun 1957 maupun kebangkitan Orde Baru sampai awal 1980-an. Jika melihat tarik ulur hubungan antara agama dan negara di Indonesia, setidaknya ada dua simbiosa yang menonjol. Pertama, intervensi negara terhadap agama dalam bentuk kebijakan-kebijakan politis yang memungkinkan agama berada di bawah bayang-bayang kekuasaan. Kedua, keinginan agama untuk mempengaruhi negara demi tercapainya cita-cita pembentukan negara agama.

Relasi antara agama dan negara ini sebenarnya berakar pada suatu political interest, yakni suatu usaha untuk mengontrol dan mengarahkan jalannya kekuasaan berdasarkan jamaknya kepentingan yang ingin diwujudkan lewat jalur politik. Dan, kedua bentuk hubungan itu senyatanya tidak sesuai dengan konstitusi Indonesia karena negara menjamin adanya suatu kehidupan keagamaan bagi masyarakat yang bebas dari monopoli negara. Sehingga segala bentuk intervensi negara terhadap kehidupan beragama merupakan bentuk pengkhianatan terhadap Pancasila dan isi UUD 1945. Di lain pihak agama yang berupaya memaksakan suatu norma apalagi mencoba mengagamakan negara juga merupakan bentuk perlawanan  terhadap konstitusi, karena Indonesia bukanlah merupakan negara agama.

Pancasila memang bukan sebuah agama. Tapi sebagai vision of state yang di dalamnya mengandung ide, nilai dan visi, Pancasila tidak anti terhadap agama. Secara eksplisit dan terang, pada sila pertama disebutkan bahwa Pancasila mengandung visi Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pengagamaan negara tidak serta merta menyelesaikan permasalahan seperti yang sering diklaim oleh para penganjurnya. Tetapi justru memicu persoalan baru yang semakin pelik pemecahannya. Pertama, apabila salah satu golongan atau agama memaksakan norma agama atau ideologinya dalam kehidupan bernegara, maka golongan atau agama yang lain akan menjadi masyarakat kelas kedua. Sehingga mereka merasa tidak at home di negaranya sendiri.

Kedua, andaikata hanya ada satu agama tetap akan timbul persoalan klasik seperti kemiskinan, ketidakadilan, dan konflik antar-kepentingan. Bertitik tolak dari implikasi yang ditimbulkan, kita perlu kembali kepada Pancasila yang menjadi common platform­ bangsa Indonesia. Sebagai dasar dan ideologi, Pancasila telah teruji mampu mewadahi berbagai corak masyarakat yang plural.

Kita menyadari bahwa jagat kebudayaan yang menjadi penopang bangunan keadaban Indonesia  telah lama mengakar sebagai khazanah keunikan bangsa. Betapapun dalamnya menggali Indonesia di lapisan dasar tersimpan benih unggul yang kelak menumbuhkan identitas kultural bangsa. Benih yang disemai keterpanggilan batin komunitas warga untuk merajut labirin kesadaran dalam wadah kebangsaan. Itulah kemilau khazanah suku, agama, ras dan antar-golongan (SARA).

Th. Sumartana (2001) menulis bahwa di basis paling dasar dari kehidupan bangsa Indonesia terletak SARA (suku, agama, ras dan antar-golongan). SARA adalah biji (seed)  yang di manapun kita mencari identitas asli bangsa, akan dijumpai suatu kenyataan tentang masyarakat SARA. Kartini, Sam Ratulangi, Haji Agus Salim, Soekarno, Hatta adalah putera-puteri terbaik yang dilahirkan dari ibu SARA. Sumpah Pemuda adalah sumpah yang diucapkan para pemuda SARA. Karena itu, di tengah corak kehidupan masyarakat yang beragam, para founding fathers telah berfikir cemerlang jauh ke depan dengan menjadikan Pancasila (yang di dalam sila-silanya mencerminkan ajaran agama) sebagai jalan tengah yang dapat mengakomodir semesta ideologi dan kebudayaan masyarakat yang plural. 

Namun, di tengah persoalan hubungan sosial yang kian kompleks,  tak jarang Pancasila dihadapkan dengan konsep Islam tentang politik bernegara. Padahal, jika  membaca ulang eksplanasi Nabi Muhammad dalam memimpin Madinah, tidak pernah mematok Islam sebagai bentuk dan sistem negara. Sebagai negarawan yang hidup dalam masyarakat heterogen, Nabi Muhammad hanya memasukkan prinsip-prinsip universal agama dalam merumuskan dasar dan ideologi negara.

Kalaupun Nabi Muhammad pernah menorehkan tinta emas dalam proyeknya membangun Madinah menjadi negara yang civilized di atas corak masyarakat yang heterogen (plural agama, ideologi, suku, dan kepentingan), tak lain hanyalah hasil negosiasi antara nilai-nilai Islam yang universal dengan kondisi lokal masyarakat Madinah. Sehingga meneladani Nabi Muhammad bukan dari segi harfiahnya, tetapi mengambil semangat dari apa yang telah diupayakannya.

Norcholish Madjid berdasarkan beberapa pikiran-pikiranya tentang Islam dan relasi kenegaraan telah menegaskan label negara Islam  secara formalistik tidak pernah digunakan, baik oleh Nabi Muhammad maupun oleh para penerusnya (al-khulafa al-rasyidin). Istilah Negara Islam muncul sebagai gejala di masa modern saja. Kemunculannya itu dapat dikaji dalam hubungannya dengan interaksi kalangan Muslim dengan agama lain. Karena itu, ide negara Islam, apalagi sebutan formalnya, adalah variabel historis-sosiologis.  

Indonesia sejak kelahirannya telah meneguhkan diri sebagai negara yang tanpa memakai label Islam secara eksplisit. Namun demikian tetap hendak menegakkan nilai-nilai yang diperjuangkan Islam, seperti penciptaan masyarakat egaliter, penegakan keadilan dan hukum, pengembangan musyawarah, penghormatan pada pluralisme, dan nilai-nilai universal Islam lainnya.  Indonesia dengan dasar dan ideologi Pancasila lahir dari eksperimen kaum Muslim Indonesia dalam interaksinya dengan realitas sosial dan kulturalnya sendiri. Karena itulah Islam di Indonesia tidak perlu kearab-araban. Islam berkembang menurut kultur kita:  keindonesiaan.