Arsip Artikel
Resonansi Korupsi Yudisial
Oleh Achmad Fauzi
Hakim Pratama Madya di Pengadilan Agama Kota Banjar, Jawa Barat
penulis buku Korupsi dan Penguatan Daulat Hukum
Artikel ini dimuat di Harian Kompas tanggal 16 Oktober 2017
Term resonansi menjadi sematan bahasa yang tepat untuk melukiskan pergerakan diakronik korupsi di dunia peradilan. Secara bahasa, resonansi memiliki pengertian ikut bergetarnya suatu benda karena ada benda lain yang bergetar dan memiliki frekuensi sama. Sedangkan diakronik memiliki karakteristik berdimensi waktu, bekelanjutan, terus bergerak, memiliki hubungan kausalitas, dan bertransformasi.
Dalam dunia peradilan korupsi yudisial tengah mengalami resonansi secara diakronik. Pelakunya berjejaring dan paham detail daftar hakim yang gampang disuap. Epideminya merambat dari spektrum kecil ke skala yang lebih besar. Dari urusan jual beli antrean sidang hingga soal jual beli takaran vonis. Peristiwa yang selama ini terpapar di hadapan publik tak hanya menjadi realitas tunggal yang berporos di ibu kota, tapi juga menjalar berkelanjutan ke beberapa daerah.
Pergerakannya menembus sejumlah lini jabatan di pengadilan. Mulai dari tenaga honor, staf, pejabat kepaniteraan, hakim, hingga ketua pengadilan. Modusnya terus bertransformasi dengan berbagai siasat. Makanya, tak heran ketika hari ini ada pejabat pengadilan ditangkap, esok atau lusa kemungkinan yang lain menyusul.
Salah satu bukti terang terjadinya resonansi korupsi yudisial bisa ditilik dari titik mula terungkapnya kasus korupsi hakim Tipikor Bengkulu Dewi Suryana oleh KPK sebulan lalu. Ia diduga terlibat suap pengaturan vonis perkara korupsi nomor 16/Pid.Sus-TPK/2017/PN Bgl dengan terdakwa Wilson. Hakim Suryana dalam putusan akhirnya menghukum terdakwa lebih ringan di bawah tuntutan jaksa karena sebelumnya ada kongkalikong dengan keluarga terdakwa. Publik sontak terhenyak tak percaya. Di era ketika sorotan masyarakat kepada pengadilan begitu tajam, bagaimana mungkin masih ada oknum pengadil yang mempermainkan timbangan keadilan. Akhirnya, sejuta harapan muncul dari segenap warga peradilan dan masyarakat luas agar praktik menjijikkan tersebut jadi persitiwa terakhir.
Tak mau jadi wabah masif, ketua Mahkamah Agung (MA) secepat kilat mengeluarkan maklumat penyelamatan peradilan. Maklumat Nomor 01/Maklumat/KMA/IX/2017 itu sejatinya merupakan derivasi dari beberapa peraturan sebelumnya tentang penegakan disiplin, pengawasan dan pembinaan hakim, aparatur MA dan badan peradilan di bawahnya. Diserukan kembali dalam bentuk maklumat supaya efektivitas pencegahan terjadinya penyimpangan bisa lebih terjamin. Sehingga, tak ada lagi hakim dan aparat peradilan yang melakukan perbuatan yang merendahkan wibawa, kehormatan, dan martabat peradilan.
Publik dan warga peradilan sebenarnya menaruh optimisme atas diberlakukannya maklumat tersebut. Sebab, di salah satu poin maklumat memuat ancaman sanksi pemberhentian secara berjenjang dari jabatannya bagi pimpinan MA dan badan peradilan di bawahnya apabila tidak melakukan pengawasan dan pembinaan secara berkala dan berkesinambungan. Di samping itu, MA juga tidak akan memberikan bantuan hukum kepada hakim dan aparat peradilan yang diduga melakukan tindak pidana.
Namun, sayangnya, seruan maklumat tersebut masih kalah gaung dengan resonansi godaan suap dari para mafioso. Kasus suap di Bengkulu yang diharapkan jadi senjakala berakhirnya mafia peradilan, justru mengalami resonansi diakronik yang bergerak hingga ke Sulawesi Utara. Korupsi yudisial terus bergerak bekelanjutan, berdimensi waktu, memiliki hubungan kausalitas, dan bertransformasi dalam ragam cara. Celakanya, pelakunya bukan lagi pegawai rendahan dan bukan pula hakim yang baru berkarir kemarin sore.
Sebagaimana diketahui, Tim Satgas KPK melakukan OTT pejabat pengadilan (7/10). Kali ini pelakunya Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Utara (Sulut) berinisial S dan seorang anggota DPR dari Partai Golkar berinisial AAM. Mereka diduga terlibat transaksi suap berkaitan dengan pengaturan perkara yang sedang ditangani di PT Sulut. Barang bukti berupa uang miliaran rupiah diamankan. Penyuap yang tak lain seorang politisi muda tersebut menuturkan bahwa uang sogok diberikan kepada hakim agar kasus korupsi yang membelit ibu kandungnya bisa divonis bebas. Gayung bersambut, KPT Sulut yang menangani perkara tersebut di tingkat banding menerima saja pemberian AAM karena memang haus uang. Transaksi tersebut dilakukan di pusat kekuasaan: Jakarta. Bahasa sandi yang dipakai untuk mengelabuhi penegak hukum menggunakan kata “pengajian”. Sungguh sangat keterlaluan.
Kejadian tersebut membuat publik dan warga peradilan merasa terpukul. Pasalnya, pengadilan tingkat banding telah ditahbiskan sebagai kawal depan (voorj post) MA. Tidak hanya dalam urusan peningkatan teknis yudisial, tapi juga diberikan wewenang melakukan pembinaan integritas kepada aparat peradilan di bawahnya. Karena itu, sangat ironis ketika penjaga kawal depan reformasi lembaga peradilan menggadaikan harga dirinya. Seorang ketua pengadilan tinggi yang seharusnya jadi pelopor dan teladan dalam pelaksanaan maklumat ketua MA bagi hakim tingkat banding dan tingkat pertama, justru melakukan perbuatan tercela yang menghancurkan marwah peradilan.
Penguatan Pengawasan
Terus berulangnya korupsi yudisial membuat MA bertindak represif dengan memecat hakim nakal dan atasannya langsung yang terbukti tidak melakukan pembinaan. MA juga tak akan memberikan advokasi hukum selama yang bersangkutan menjalani proses pidana. Tindakan represif tersebut urgen sebagai ikhtiar untuk mengamputasi regenerasi koruptor di pengadilan. Hakim tuna-integritas harus disingkirkan dari sistem supaya tidak menular kepada yang lain.
Penguatan sistem pengawasan secara ketat, terukur, berjenjang, dan melibatkan banyak pihak, juga tak kalah penting agar mempersempit ruang gerak para mafioso. Salah satunya dengan mempertajam radar kerja intelijen badan pengawasan dalam menangkap gejala penyelewengan, mengolahnya, dan menyuplai informasi kepada KPK untuk ditindaklanjuti. Kerja pengawasan tak boleh bertindak reaktif alias mengambil keputusan setelah ada kejadian operasi tangkap tangan. Desain pengawasan harus dirancang secara proaktif sehingga potensi pencegahan bisa dilakukan secara maksimal dan tidak berakumulasi menjadi bom waktu runtuhnya peradilan.
Di samping itu, pengawasan aspek non-yudisial terhadap putusan hakim juga harus rutin dilakukan. Tanpa harus masuk ke ranah teknis yudisial, putusan hakim yang janggal bisa dijadikan materi telaah untuk menelusuri kemungkinan adanya praktik dagang hukum. Vonis bebas ataupun ringan terhadap koruptor, misalnya, menurut hukum sah dan berdasarkan norma universal tidak boleh diintervensi oleh otoritas non-yudisial. Tapi, tren vonis ringan bisa dijadikan bahan telaah awal untuk menelusuri potensi jual beli perkara. Praktik demikian sejatinya pernah dilakukan KPK. Di samping bersumber dari penyadapan dan informasi MA, gurita suap berhasil diungkap berkat kajian KPK atas putusan yang janggal.
Comments
your blog posts. Any way I'll be subscribing to your feeds
and even I achievement you access consistently rapidly.
My blog - Bokep
Dan izin juga mungkin nanti mau saya gunakan sebagai
referensi topik untuk artikel di blog saya ya.
BTW numpang promosi dikit ya :). Alamat blog saya widyasihombing420.blogtov.com/profile, blog yang isinya kumpulan teknik-teknik desain maskot