Arsip Artikel
Persekusi Merongrong Kedaulatan Hukum
Oleh Achmad Fauzi
Hakim Pratama Utama di Pengadilan Agama Kota Banjar, Jawa Barat
dan Redaktur Majalah Peradilan Agama
Artikel ini dimuat di Koran Suara Pembaruan tanggal 8 Juni 2017
Kamus kehidupan sosial kembali ramai dengan istilah baru: persekusi. Hal ini merujuk praktik intimidasi dan kekerasan yang dilakukan kelompok tertentu yang muaranya main hakim sendiri. Menurut kamus bahasa Indonesia, persekusi dimaknai pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga untuk disakiti, ditindas, hingga diancam nyawanya. Menilik definisi tersebut bisa disimpulkan bahwa persekusi identik dengan hukum rimba.
Sasarannya ialah individu atau kelompok yang dituding menistakan ulama atau agama. Berdasarkan data Aliansi Anti Persekusi, korban persekusi di tanah air ternyata tidak sedikit. Dalam kurun Januari hingga Mei 2017 sebanyak 59 orang jadi korban persekusi. Akibatnya, banyak korban mengalami trauma psikologis, cedera fisik, dan terganggu keamanannya.
Sejatinya, jika diurai secara jernih, merebaknya persekusi di tanah air bermula sejak Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dipenjara (Suara Pembaruan, 3/6). Para pengguna media sosial mengalami polarisasi dan berada dalam ruang sentimen massa yang sangat sensitif. Selaput kebencian kian tebal membuat keruh cara pandang. Kebencian terhadap Ahok, misalnya, sudah sedemikian memuncak dan jauh dari akal sehat. Segala sengkarut hubungan sosial dan kekisruhan politik yang terjadi selama ini semuanya acap ditimpakan kepada Ahok.
Padahal, kalau mau jujur, banyak teladan hukum yang telah dicontohkan Ahok kepada bangsa ini. Ketika pertama kali diterpa kasus penistaan agama, Ahok begitu hormat dan kooperatif mengikuti proses hukum. Tak ada perlawanan hingga mengerahkan massa yang mengarah kepada ancaman mobokrasi. Ahok menyalurkan perlawanannya secara legal di persidangan melalui pledoi. Cara semacam itu sangat bermartabat dalam konteks masyarakat beradab. Begitu juga ketika divonis hakim 2 tahun penjara, ia tidak melakukan contempt of court, tidak mencaci maki hakim, tidak mengamuk di persidangan. Putusan hakim tetap dihormati dan bentuk ketidakpuasannya disalurkan dengan tepat melalui upaya hukum banding, meski pada akhirnya dicabut. Keteladanan hukum Ahok tersebut dianggap menjadi oase di tengah menjamurnya sikap membangkang sebagian warga negara terhadap hukum.
Tapi, bagi pembencinya, tak ada satupun kebaikan pada diri Ahok. Kebutaan paradigma yang diselimuti kesumat, membuat mereka tak memiliki cara pandang yang jernih membaca persoalan. Padahal, Islam telah mengajarkan tatakrama pergaulan dan penyaluran perasaan dengan cara yang wajar. Boleh jadi membenci sesuatu padahal ia amat baik baginya, dan boleh jadi menyukai sesuatu padahal ia amat buruk baginya. Allah mengetahui apa yang tidak ia ketahui (Al-qur’an Surat al-Baqarah: 216).
Lain Ahok lain pula cerita Rizieq Sihab (RS). Tokoh satu ini sudah lama mangkir dari panggilan polisi atas beberapa kasus hukum yang menjeratnya. Alih-alih kooperatif dan menghormati proses hukum, RS malah ke luar negeri entah kapan kembali lagi. Kepolisian akhirnya mengeluarkan surat perintah penangkapan dan menetapkan RS sebagai daftar pencarian orang (DPO).
Masyarakat sebenarnya berharap RS bisa menghadapi proses hukum secara jantan tanpa harus main kucing-kucingan dengan aparat. Bahkan, Ketua Umum MUI Ma’ruf Amin menyarankan RS mengikuti proses hukum di Indonesia. Namun, harapan itu kandas, sehingga sebagian masyarakat pengguna sosial media kesal dan menumpahkan kekecewaannya di ruang maya seperti facebook, twitter, instagram, dan lain-lain.
Kekecewaan publik atas mangkirnya RS dari proses hukum tersebut kemudian ditanggapi berbeda oleh pendukung RS. Mereka memburu pemilik akun yang menyebarkan informasi bernada kritik terhadap RS dan melakukan berbagai macam intimidasi. FL adalah salah satu korbannya. Perempuan berprofesi sebagai dokter ini mengalami persekusi berupa intimidasi, teror dan dirampas keamanannya karena menulis status di media sosial yang menyindir RS. Nasib sama dialami bocah berusia 15 tahun berinisial M yang dituding menghina RS. Ia jadi korban persekusi, kepalanya dipukul dan videonya jadi viral di sosial media. Dalam banyak kejadian persekutor memang berlagak seperti penyidik, penuntut, sekaligus pengadil kepada pihak yang dianggap menghina kelompok mereka. Daulat hukum yang seharusnya dijunjung tinggi dinistakan persekutor dengan menciptakan peradilan jalanan.
Jika demikian kondisinya, persekusi menjadi ancaman nyata yang harus dilawan karena merongrong daulat hukum. Kepolisian harus menindak tegas persekutor agar negara tidak kalah dengan kuasa preman. Di samping itu Polri perlu penguatan sumber daya ke seluruh daerah agar tetap berwibawa. Keputusan Kapolri mengganti Kapolres Solok Kota karena dianggap tidak tegas menghadapi ormas pelaku persekusi adalah tindakan tepat supaya kepolisian disegani dalam menjalankan tugas sebagai pelindung dan pengayom masyarakat.
Persekusi Haram
Apapun alasannya persekusi tidak dibenarkan, mau pakai dalil undang-undang ataupun ajaran agama, semuanya tidak ada yang melegitimasi. Perseksusi melalui perspektif konstitusi, misalnya, justru dilarang keras karena bertentangan dengan hak asasi manusia. Pasal 28 A-J UUD 1945 mengatur secara konstitusional tentang jaminan perlindungan dan keamanan setiap warga negara dari berbagai macam ancaman. Setiap orang berhak untuk hidup, tidak disiksa, dan tidak ada seorangpun yang bisa menghilangkan nyawanya dengan alasan apapun. Setiap orang juga berhak atas perlindungan pribadi, keluarga, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Barang siapa merampas hak individu tersebut maka diancam pidana sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
Begitu pula menurut kacamata etika dan agama, persekusi merupakan tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama dan merendahkan etika universal kemanusiaan. Tidak ada satu pun agama yang membenarkan tindakan kekerasan, intimidasi, dan menimbulkan rasa tidak aman kepada sesama. Jika anda perlu penyajian dalil ini buktinya.
Tidak dikatakan orang beriman sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri (Hadis Muslim bab Iman: 7:12; Ibn Majah: 9; al Darimi, bab riqaq). Lakukan untuk orang lain apa yang kamu ingin mereka lakukan untukmu (Lukas 6: 31). Konfusius (551-479 SM) menyatakan jangan lakukan pada orang lain apa yang tidak kamu suka lakukan pada dirimu sendiri (Analects, 12.2 dan 15.23). Sidharta Gautama (563-483 SM) menyatakan tidak boleh membunuh dan jangan menyebabkan orang lain membunuh. Pada 1915, Won Budhisme yang didirikan master Sotaesan di Korea juga mengatakan, luruskan dirimu sebelum meluruskan orang lain. Perintahlah dirimu sebelum mengajarkan orang lain.
Jika dalih persekutor melakukan intimidasi karena tokoh dan agamanya dihina, maka mari kita buka kembali kitab-kitab yang menarasikan perjalanan Nabi Muhammad. Semasa hidupnya Nabi selalu dihina, dilempar kotoran onta, dikucilkan, bahkan diancam dibunuh. Tapi Nabi tidak membalas, tidak dendam, malahan memaafkan sebelum orang lain meminta maaf. Betapa luhurnya ajaran Islam dan sungguh indah akhlak Nabi. Tidakkah rindu meneladani akhlak demikian, Tuan?
Comments