Arsip Artikel
Poligami : Sumber Manfaat atau Ujung dari Perceraian?
Tinjauan Hukum, Sosial, dan Agama
oleh : Barkah Ramdhani
Poligami merupakan salah satu isu paling kompleks dan sensitif dalam hukum keluarga Islam dan hukum nasional Indonesia. Di satu sisi, poligami dipandang sebagai institusi yang memiliki dasar normatif dalam ajaran agama dan dapat menghadirkan solusi atas kondisi tertentu. Namun di sisi lain, praktik poligami seringkali dikaitkan dengan konflik rumah tangga, ketidakadilan, serta meningkatnya angka perceraian. Pertanyaan mendasar yang kemudian muncul adalah: apakah poligami benar-benar menjadi sumber manfaat dalam keluarga, atau justru berujung pada perceraian?
Pertanyaan ini tidak dapat dijawab secara hitam-putih, karena poligami berada pada persimpangan antara norma agama, hukum negara, kondisi psikologis, dan realitas sosial. Oleh karena itu, diperlukan kajian komprehensif untuk menempatkan poligami secara proporsional dan objektif.
Poligami dalam Perspektif Normatif Agama
Dalam Islam, poligami memiliki dasar normatif yang bersumber dari Al-Qur’an, khususnya Surah An-Nisa ayat 3, yang memperbolehkan laki-laki menikahi hingga empat perempuan dengan syarat mampu berlaku adil. Namun ayat tersebut juga diiringi dengan peringatan tegas tentang sulitnya berlaku adil, sebagaimana ditegaskan dalam Surah An-Nisa ayat 129.
Secara teologis, poligami bukanlah perintah, melainkan rukhshah (keringanan) dalam kondisi tertentu. Para ulama klasik dan kontemporer sepakat bahwa prinsip keadilan merupakan syarat substansial, bukan sekadar formal. Keadilan tersebut mencakup aspek nafkah lahir, pembagian waktu, perhatian, serta perlindungan terhadap martabat dan hak-hak istri.
Dengan demikian, secara normatif, poligami dimaksudkan untuk menghadirkan kemaslahatan dan mencegah kemudaratan. Namun ketika syarat keadilan tidak terpenuhi, poligami justru bertentangan dengan tujuan dasar pernikahan dalam Islam, yaitu mewujudkan ketenangan (sakinah), cinta (mawaddah), dan kasih sayang (rahmah).
Poligami dalam Perspektif Hukum Nasional
Dalam sistem hukum Indonesia, poligami diakui secara terbatas dan bersyarat. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menegaskan asas monogami sebagai prinsip umum, sementara poligami hanya diperbolehkan dengan izin pengadilan dan memenuhi syarat-syarat tertentu. Kompilasi Hukum Islam (KHI) mempertegas ketentuan tersebut dengan menekankan persetujuan istri, kemampuan suami, serta jaminan keadilan.
Pengaturan yang ketat ini menunjukkan bahwa negara memandang poligami sebagai pengecualian, bukan praktik yang bebas dilakukan. Dalam praktik peradilan agama, banyak permohonan izin poligami yang ditolak karena tidak terpenuhinya syarat material, terutama terkait kemampuan ekonomi dan keadilan psikologis terhadap istri dan anak.
Di sisi lain, tidak sedikit perkara perceraian yang diajukan akibat poligami yang dilakukan tanpa prosedur hukum atau tanpa persetujuan istri. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakpatuhan terhadap hukum justru menjadikan poligami sebagai faktor pemicu retaknya rumah tangga.
Poligami sebagai Sumber Manfaat
Dalam kondisi tertentu, poligami dapat memberikan manfaat sosial dan personal, terutama ketika dilakukan secara jujur, bertanggung jawab, dan sesuai dengan ketentuan agama serta hukum. Misalnya, poligami dapat menjadi solusi atas permasalahan biologis, kemandulan, atau kondisi istri yang tidak memungkinkan menjalankan fungsi tertentu dalam rumah tangga, tanpa harus mengakhiri pernikahan pertama.
Selain itu, dalam perspektif sosial, poligami pernah dipandang sebagai instrumen perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak, khususnya dalam konteks sejarah tertentu. Namun manfaat tersebut hanya dapat terwujud apabila poligami dilakukan dengan niat yang lurus, persiapan matang, serta komitmen kuat terhadap keadilan dan tanggung jawab moral.
Tanpa fondasi tersebut, klaim kemanfaatan poligami menjadi lemah dan tidak relevan dengan realitas kehidupan keluarga modern.
Poligami sebagai Pemicu Perceraian
Dalam praktik kontemporer, poligami lebih sering muncul sebagai pemicu konflik rumah tangga daripada sumber keharmonisan. Faktor kecemburuan, ketidakadilan emosional, pengabaian nafkah, serta luka psikologis pada istri dan anak menjadi penyebab utama meningkatnya gugatan cerai akibat poligami.
Secara psikologis, poligami yang tidak disepakati secara sadar oleh istri dapat menimbulkan trauma, rasa tidak aman, dan hilangnya kepercayaan. Kondisi ini seringkali berujung pada disharmoni berkepanjangan yang sulit dipulihkan, sehingga perceraian dipandang sebagai jalan terakhir untuk melindungi martabat dan kesehatan mental.
Data empiris di pengadilan agama menunjukkan bahwa poligami tanpa izin dan tanpa keadilan merupakan salah satu alasan dominan dalam perkara perceraian. Hal ini mengindikasikan bahwa poligami, alih-alih menyelamatkan pernikahan, justru menjadi faktor destruktif ketika disalahgunakan.
Analisis Kemaslahatan dan Maqashid al-Syari’ah
Jika dianalisis melalui pendekatan maqashid al-syari’ah, poligami harus dievaluasi berdasarkan sejauh mana ia menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Apabila poligami merusak ketenangan jiwa, menelantarkan anak, atau menimbulkan ketidakadilan ekonomi, maka secara substansial ia bertentangan dengan tujuan syariat.
Dalam konteks ini, perceraian akibat poligami yang bermasalah dapat dipandang sebagai upaya menghindari mudarat yang lebih besar. Dengan kata lain, perceraian bukanlah kegagalan hukum atau agama, melainkan mekanisme korektif untuk melindungi hak dan martabat pihak yang dirugikan.
Poligami bukanlah praktik yang secara inheren membawa manfaat atau mudarat. Ia sangat bergantung pada niat, cara, dan konteks pelaksanaannya. Dalam kondisi ideal, poligami dapat menjadi solusi terbatas bagi permasalahan tertentu. Namun dalam realitas sosial dan hukum di Indonesia, poligami lebih sering menjadi ujung dari konflik dan perceraian karena dilakukan tanpa keadilan, tanpa kesiapan, dan tanpa kepatuhan terhadap hukum.
Oleh karena itu, poligami harus ditempatkan sebagai opsi terakhir yang sangat selektif, bukan sebagai hak absolut. Pendekatan hukum, agama, dan psikologi harus berjalan beriringan agar tujuan utama pernikahan mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah tetap menjadi orientasi utama.
bramdhanish.doc




