jadwalsidang jadwalsidang jadwalsidang jadwalsidang jadwalsidang jadwalsidang

Arsip Artikel

PELAYANAN HUKUM YANG BERKEADILAN KEPADA PENCARI KEADILAN

Melalui Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan

Oleh Yamin Mubarok, S.H.I.

 

Mahkamah Agung sesuai dengan amanat UUD 1945 diberikan kewenangan yang mandiri dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan badan peradilan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara serta Mahkamah Konstitusi untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Mahkamah Agung telah menerbitkan banyak peraturan, salah satunya terkait dengan standar pelayanan peradilan termasuk secara spesifik pelayanan hukum bagi masyarakat yang tidak mampu. Pada 9 Februari 2012, Mahkamah Agung telah menerbitkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: 026/KMA/SK/II/2012 tentang Standar Pelayanan Peradilan dalam upaya melaksanakan UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Sementara Menpan RB, dalam melaksankan tugasnya merumuskan kebijakan nasional tentang pelayanan publik, telah menerbitkan peraturan untuk melaksanakan UU Nomor 25 Tahun 20009, yang mengamanatkan setiap penyelenggara pelayanan publik wajib menyusun, menetapkan, dan menerapkan standar pelayanan yang memuat sekurang-kurangnya 14 komponen standar pelayanan serta menyusun dan menetapkan maklumat pelayanan dengan memperhatikan kemampuan penyelenggara, kebutuhan masyarakat dan kondisi lingkungan. Menpan RB pada 22 Juni 2012 telah menerbitkan Permenpan RB Nomor 36 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan, Penetapan, dan Penerapan Standar Pelayanan, dan pada 2 Mei 2014 mencabut peraturan tersebut dengan Permenpan RB Nomor 15 Tahun 2014 tentang Pedoman Standar Pelayanan.   

Dalam Permenpan RB Nomor 15 Tahun 2014, standar pelayanan publik harus memuat beberapa komponen yang terbagi pada dua bagian:

  1. Komponen Standar Pelayanan yang terkait dengan proses penyampaian pelayanan (service point) meliputi:

       1) Persyaratan;

       2) Sistem, mekanisme, dan prosedur;

       3) Jangka waktu pelayanan;

       4) Biaya/tarif;

       5) Produk pelayanan;

       6) Penanganan pengaduan, saran dan masukan/apresiasi.

  1. Komponen Standar Pelayanan yang terkait dengan proses pengelolaan pelayanan (manufacturing) meliputi:

       1) Dasar hukum;

       2) Sarana dan prasarana, dan/atau fasilitas;

       3) Kompetensi pelaksana;

      4) Pengawasan internal;

      5) Jumlah pelaksana;

      6) Jaminan pelayanan;

      7) Jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan;

       8) Evaluasi kinerja pelaksana.

Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: 026/KMA/SK/II/2012 merupakan standar nasional yang diberlakukan kepada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya dalam melaksankan pelayanan sesuai dengan jenis layanan di satuan kerja masing-masing. Satuan kerja pada Badan Peradilan di bawah Mahkamah Agung harus menyusun standar pelayanan paling lambat 6 (enam) bulan sejak sejak ditetapkannya surat keputusan tersebut. Standar Pelayanan yang harus disusun oleh satuan kerja harus memuat dasar hukum, sistem, mekanisme dan prosedur, jangka waktu, biaya atau tarif, produk pelayanan, sarana prasarana, dan kompetensi pelaksana. Secara umum pengadilan menyediakan pelayanan berupa pelayanan administrasi persidangan, pelayanan bantuan hukum, pelayanan pengaduan, dan pelayanan permohonan informasi. Sementara mengenai teknis hukum acara atau yang berkaitan dengan putusan pengadilan bukanlah obyek dari pelayanan pengadilan dan oleh karenanya tidak termasuk dalam ruang lingkup pelayanan pengadilan yang dapat diadukan oleh masyarakat.

Dalam memberikan pelayanan bantuan hukum, Mahkamah Agung memberikan akses yang sama kepada semua masyarakat pencari keadilan. Salah satu misi Mahkamah Agung dalam mewujudkan visinya mewujudkan badan peradilan yang agung adalah memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan kepada pencari keadilan. Dalam mewujudkan hal tersebut Mahkamah Agung berkomitmen untuk memberikan akses kepada masyarakat tidak mampu untuk mencari keadilan pada lembaga peradilan. Dalam Perma Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan, telah ditetapkan program unggulan Mahkamah Agung yaitu layanan hukum bagi masyarakat tidak mampu berupa layanan pembebasan biaya perkara, penyelenggaraan sidang di luar gedung Pengadilan, dan penyediaan posbakum pengadilan. Inilah 3 (tiga) program unggulan dari Mahkamah Agung RI yang telah disediakan penganggarannya melalui DIPA Dirjen masing-masing badan peradilan. Untuk melaksanakan bantuan hukum bagi masyarakat tidak mampu harus dibuat sistem data layanan hukum bagi masyarakat tidak mampu yang merupakan kumpulan informasi terpusat dan terpadu mengenai permintaan dan pemberian layanan hukum bagi masyarakat tidak mampu berdasarkan pencatatan dan pelaporan layanan hukum bagi masyarakat tidak mampu, yang dikelola dan dikoordinasikan oleh Direktorat Jenderal pada masing-masing lingkungan Badan Peradilan Umum, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara di bawah Mahkamah Agung secara manual maupun elektronik.

Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan, terdapat 3 (tiga) layanan hukum bagi masyarakat tidak mampu meliputi:

1. Layanan Pembebasan Biaya Perkara

Tujuan dari pemberian bantuan hukum bagi masyarakat tidak mampu itu diantaranya adalah meringankan beban biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi di Pengadilan, meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang hukum melalui penghargaan, pemenuhan dan perlindungan terhadap hak dan kewajibannya dan memberikan pelayanan prima kepada masyarakat pencari keadilan.  

Untuk memenuhi tujuan meringankan beban biaya bagi masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi maka Mahkamah Agung membuat program bantuan hukum bagi masyarakat tidak mampu melalui pembebasan biaya bagi masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi. Pembebasan biaya perkara diatur dalam pasal 7, 8, 9, 10, 11, 12, dan 13 Perma Nomor 1 Tahun 2014. Dari pasal-pasal tersebut dapat dijelaaskan hal-hal penting terkait ketentuan pembebasan biaya perkara, sebagai berikut:

  1. Setiap orang atau sekelompok orang yang tidak mampu secara ekonomi dapat mengajukan permohonan pembebasan biaya perkara;
  2. Tidak mampu secara ekonomi dibuktikan dengan:
  3. Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang dikeluarkan oleh Kepala Desa/Lurah/Kepala Wilayah setempat yang menyatakan bahwa benar yang bersangkutan tidak mampu membayar biaya perkata, atau
  4. Surat Keterangan Tunjangan Sosial lainnya seperti Kartu Keluarga Miskin (KKM), Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Kartu Beras Miskin (Raskin), Kartu Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Bantuan Langsung Tunai (BLT), Kartu Perlindungan Sosial (KPS), atau dokumen lainnya yang berkaitan dengan daftar penduduk miskin dalam basis data terpadu pemerintah atau yang dikeluarkan oleh instansi lain yang berwenang untuk memberikan keterangan tidak mampu.
  5. Permohonan pembebasan biaya perkara diajukan secara tertulis kepada Ketua Pengadilan melalui Kepaniteraan dengan melampirkan bukti tertulis berupa dokumen sebagaimana dimaksud pada nomor 2;
  6. Pembebasan biaya perkara diberikan sesuai dengan ketersediaan anggaran pada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Pengadilan pada setiap tahun anggaran;
  7. Panitera/Sekretaris memeriksa kelayakan pembebasan biaya perkara dan ketersediaan anggaran;
  8. Ketua Pengadilan melakukan pemeriksaan berkas berdasarkan pertimbangan Panitera/Sekretaris dan mengeluarkan Surat Penetapan Layanan Pembebasan Biaya Perkara apabila permohonan dikabulkan;
  9. Dalam hal permohonan pembebasan biaya perkara ditolak, maka proses berperkara dilaksanakan sebagaimana perkara biasa.

Direktorat Jenderal badan Peradilan Agama bekerja sama dengan kementerian/lemabaga berwenang untuk mengelola dan mengkoordinasikan terkait data masyarakat yang tidak mampu yang telah tervalidasi oleh kementerian/lembaga berwenang yang dijadikan dasar pemberian bantuan hukum untuk pembebasan biaya perkara. Oleh karenanya tidak mampu secara ekonomi dapat dibuktikan dengan ketentuan bahwa pemohon terdata di Aplikasi Basis Data Terpadu Daftar Penduduk Miskin pada Ditjen Badilag yang bekerjasama dengan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) pada aplikasi SIMTALAK Badilag Mahkamah Agung.

2. Penyelenggaraan Sidang di Luar Gedung Pengadilan

Tujuan dari pemberian bantuan hukum bagi masyarakat tidak mampu itu diantaranya adalah meningkatkan akses terhadap keadilan bagi masyarakat yang sulit atau tidak mampu menjangkau gedung Pengadilan akibat keterbatasan biaya, fisik atau geografis, meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang hukum melalui penghargaan, pemenuhan dan perlindungan terhadap hak dan kewajibannya dan memberikan pelayanan prima kepada masyarakat pencari keadilan.

Pengadilan dapat melaksanakan sidang di luar gedung Pengadilan untuk mempermudah setiap warga yang tidak mampu atau sulit menjangkau lokasi kantor Pengadilan karena hambatan biaya atau hambatan fisik atau hambatan geografis. Penyelenggaraan sidang di luar gedung pengadilan diatur dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: 026/KMA/SK/II/2012 tentang Standar Pelayanan Peradilan yang dinamakan dengan sebutan sidang keliling dan pasal 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, dan 21 Perma Nomor 1 Tahun 2014.

Dalam Keputusan KMA Nomor: 026/KMA/SK/II/2012 dijelaskan ketentuan terkait dengan sidang keliling sebagai berikut:

    1. Sidang keliling adalah sidang pengadilan yang dilaksanakan di luar gedung pengadilan yang diperuntukan bagi masyarakat yang mengalami hambatan untuk datang ke kantor pengadilan karena alasan jarak, transportasi dan biaya.

     2. Semua orang dapat mengajukan perkaranya untuk diselesaikan melalui pelayanan sidang keliling oleh pengadilan setempat.  Namun demikian, tidak semua pengadilan melaksanakan sidang keliling, terutama pengadilan yang berada di ibukota propinsi.

     3. Semua perkara pada dasarnya dapat diajukan melalui sidang keliling, akan tetapi karena keterbatasan pada pelayanan sidang keliling, maka perkara yang dapat diajukan melalui sidang keliling, di antaranya adalah:

         a. Itsbat nikah: pengesahan/pencacatan nikah bagi pernikahan yang tidak terdaftar di KUA;

         b. Cerai gugat: gugatan cerai yang ajukan oleh istri;

         c. Cerai talak: permohonan cerai yang diajukan oleh suami;

         d. Penggabungan perkara Itsbat dan cerai gugat/cerai talak apabila pernikahan tidak tercatat dan akan mengajukan perceraian;

         e. Hak asuh anak: Gugatan atau permohonan hak asuh anak yang belum dewasa;

         f. Penetapan ahli waris: Permohonan untuk menetapkan ahli waris yang sah.

     4. Sidang keliling dilaksanakan di tempat-tempat yang representatif pada lokasi di mana sidang diadakan antara lain di balai desa, kantor kecamatan, kantor KUA, atau tempat fasilitas umum yang mudah dijangkau oleh masyarakat yang tinggal jauh dari kantor pengadilan.

     5. Pengadilan mengumumkan waktu, tempat dan biaya sidang keliling melalui media pengumuman di pengadilan dan pada lokasi di mana sidang keliling akan dilaksanakan.

     6. Persyaratan administrasi yang perlu dilengkapi untuk mengajukan perkara pada sidang keliling adalah:

         a. Surat gugatan atau permohonan;

         b. Kelengkapan dokumen-dokumen yang diperlukan sesuai dengan perkara yang diajukan;

         c. Membayar panjar biaya perkara yang telah ditetapkan oleh Pengadilan. Bagi yang tidak mampu membayar maka dapat mengajukan prodeo atau beperkara secara gratis (lihat panduan cara mengajukan prodeo);

         d. Pada saat pelaksanaan Persidangan Pemohon/penggugat harus membawa minimal 2 (dua) orang saksi yang mengetahui permasalahan penggugat/pemohon;

         e. Menyerahkan semua persyaratan yang sudah lengkap tersebut di atas ke kantor pengadilan baik secara pribadi atau perwakilan yang ditunjuk;

         f. Setelah persyaratan diserahkan, minta tanda bukti pembayaran (SKUM), dan satu salinan surat gugatan/permohonan yang telah diberi nomor perkara.

     7. Setelah perkara diputus, salinan putusan bisa diambil di Pengadilan atau di tempat sidang keliling.

Sementara dalam Perma Nomor 1 Tahun 2014 dijelaskan hal-hal penting terkait ketentuan penyelenggaraan sidang di luar gedung Pengadilan sebagai berikut:

     1. Daerah sulit dijangkau karena hambatan biaya, hambatan fisik dan hambatan geografis (keterjangkauan wilayah);

     2. Karakteristik jumlah perkara, perkara-perkara yang pembuktiannya mudah atau bersifat sederhana;

     3. Lokasi sidang ditetapkan melalui koordinasi antara Pengadilan dengan Pemerintah Daerah atau Instansi lain;

     4. Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama dan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat menyelenggarakan sidang di luar gedung Pengadilan secara bersama-sama sesuai kebutuhan;

     5. Sidang di luar gedung Pengadilan dapat melakukan sidang terpadu dengan melakukan koordinasi dengan Pemerintah Daerah atau Kementerian/Lembaga lain yang berwenang untuk keperluan penerbitan dokumen-dokumen sebagai akibat dari putusan Pengadilan pada sidang di luar gedung Pengadilan dan dapat dilaksanakan secara terpadu dengan layanan Posbakum Pengadilan. 

     6. Ruang sidang mengupayakan ketentuan dekorum ruang persidangan dan harus memperhatikan akses untuk penyandang disabilitas, perempuan, anak-anak dan orang lanjut usia.

     7. Dan hal lain terkait keamanan, petugas, pembiayaan dan penganggaran. 

3. Penyediaan Posbakum Pengadilan

Tujuan dari pemberian bantuan hukum bagi masyarakat tidak mampu itu diantaranya adalah memberikan kesempatan kepada masyarakat yang tidak mampu mengakses konsultasi hukum untuk memperoleh informasi, konsultasi, advis, dan pembuatan dokumen dalam menjalani proses hukum di Pengadilan, meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang hukum melalui penghargaan, pemenuhan dan perlindungan terhadap hak dan kewajibannya dan memberikan pelayanan prima kepada masyarakat pencari keadilan.

Penyediaan posbakum Pengadilan ditujukan untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat yang tidak mampu mengakses konsultasi hukum untuk memperoleh informasi, konsultasi, advis, dan pembuatan dokumen dalam menjalani proses hukum di Pengadilan. Penyediaan posbakum Pengadilan diatur dalam pasal 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, dan 35 Perma Nomor 1 Tahun 2014. Dari pasal-pasal tersebut dapat dijelaaskan hal-hal penting terkait ketentuan penyediaan posbakum Pengadilan, sebagai berikut:

    1. Penerima layanan posbakum adalah setiap orang atau sekelompok orang yang tidak mampu secara ekonomi dan/ atau tidak memiliki akses pada informasi dan konsultasi hukum yang memerlukan layanan berupa pemberian inforrnasi, konsultasi, advis hukum, atau bantuan pembuatan dokumen hukum yang dibutuhkan;

     2. Ketidakmampuan itu dibuktikan dengan :

         a. Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang dikeluarkan oleh Kepala Desa/ Lurah/ Kepala Wilayah setempat yang menyatakan bahwa benar yang bersangkutan tidak mampu membayar biaya perkata, atau

       b. Surat Keterangan Tunjangan Sosial lainnya seperti Kartu Keluarga Miskin (KKM), Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Kartu Beras Miskin (Raskin), Kartu Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Bantuan Langsung Tunai (BLT), Kartu Perlindungan Sosial (KPS), atau dokumen lainnya yang berkaitan dengan daftar penduduk miskin dalam basis data terpadu pemerintah atau yang dikeluarkan oleh instansi lain yang berwenang untuk memberikan keterangan tidak mampu, atau

        c. Surat pernyataan tidak mampu membayar jasa Advokat yang dibuat dan ditandatangani oleh Pemohon layanan Posbakum Pengadilan dan disetujui oleh Petugas Posbakum Pengadilan, apabila Pemohon layanan Posbakum Pengadilan tidak memiliki dokumen sebagaimana disebut dalam huruf a atau b.

    3. Setiap Pengadilan harus dibentuk posbakum Pengadilan dan ruangan dan sarana/prasarana untuk Posbakum Pengadilan sesuai kemampuan dengan memperhatikan akses untuk penyandang disabilitas, perempuan, anak-anak, dan orang lanjut usia dan tersedia akses bagi terdakwa yang sedang ditempatkan pada ruang tahanan Pengadilan untuk bisa mengakses layanan Posbakum Pengadilan

    4. Posbakum Pengadilan dapat dilaksanakan secara terpadu dengan pelaksanaan sidang di luar gedung Pengadilan;

    5. Jenis layanan posbakum Pengadilan berupa pemberian informasi, konsultasi, atau advis hukum, bantuan pembuatan dokumen hukum yang dibutuhkan, penyediaan informasi daftar Organisasi Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud dalam UU No 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum atau organisasi bantuan hukum atau advokat lainnya yang dapat memberikan bantuan hukum cuma-Cuma;

    6. Kerjasama kelembagaan dengan Pemberi Layanan Posbakum Pengadilaan yang memenuhi kriteria dengan lembaga berupa:

         a. Lembaga masyarakat sipil penyedia advokasi hukum; dari/atau

         b. Unit kerja advokasi hukum pada Organisasi Profesi Advokat; dan/ atau

         c. Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Perguruan Tinggi.

        Pengadilan yang dalam wilayah hukumnya tidak terdapat Lembaga sebagaimana dimaksud huruf a, b, dan c, sementara dapat bekerjasama secara perorangan dengan Advokat. Dalam hal Pengadilan tidak dapat melakukan kerja sarna dengan advokat sebagaimana dimaksud huruf d, Pengadilan sementara dapat bekerjasama secara perorangan dengan Sarjana Hukum dan Sarjana Syariah.

      7. Dan hal lain terkait hak, kewajiban, dan larangan pemberi layanan posbakum Pengadilan, mekanisme sanksi kepada pemberi layanan posbakum Pengadilan, mekanisme pemberian layanan posbakum Pengadilan, pembiayaan dan penganggaran.

Comments  

#1 Maynard 2025-02-20 10:39
Great article. I will be going through many of these issues as well..


Visit my web site pasang cctv: www.tagar.id/.../
Quote | Report to administrator

Add comment